Amygdala Universe

Matahari membumbung angkuh tepat diatas kepalaku, ketika siang tadi memutuskan lari-lari kecil menuju stasiun kereta Lenteng Agung, olahraga sedikit sebelum berbaur dengan mosh pit yang telah lama tak ku sambangi.

Ini kali pertama aku mengunjungi Taman Topi di Bogor, dan masih saja tak becus menempelkan kartu untuk masuk ke peron stasiun, sampai-sampai harus dibantu sembari ditertawai oleh security. Kamu ingat kartu pertama yang kita berdua miliki, Bram? Sobekan karton berwarna hitam, yang kau tulisi bait puisi milik Almarhum Rendra.

"Juwitaku yang cakap meskipun tanpa dandanan, untukmu hidupku terbuka.

Warna-warna kehidupan berpendar-pendar menakjubkan, isyarat-isyarat getaran ajaib menggerakkan penaku. Tanpa sekejap pun luput dari kenangan padamu aku bergerak menulis pamplet, mempertahankan kehidupan."

Kau menyimpan sobekan karton berbentuk segi empat itu dengan sangat rapih di dompetmu, kau laminating pula dengan setrika. Sementara sobekan karton milikku, teronggok percuma diantara selipan buku Pram entah yang mana. Aku pun lupa.. mungkin raib dibakar dengan sengaja bareng dengan Marx, Freud, Berkeley dan Seno Gumira beberapa tahun silam oleh mantan suamiku.

Terlalu banyak buku yang dibakar pada saat itu, aku hampir mati berdiri ketika mengetahuinya. Buku-buku yang setiap malam dulu kita diskusikan bersama, beradu pendapat, sampai bertengkar sambil melemparkan kata-kata tajam satu sama lain. Kau ingat itu, Bram? Kau bilang aku keras melebihi batu, pedas melebihi cabai thailand, terlalu menggoda untuk didiamkan barang sedetik pun.

Semesta ini terlalu besar untuk bisa kau dan aku jelajahi bersama, namun entah dari mana datangnya keyakinanmu, bahwa aku sanggup melakukannya sendirian, tanpamu. Begitu ucapmu hampir 10 tahun yang lalu. Mungkin sekarang kau sedang menertawaiku ketika akhirnya aku memilih untuk pulang ke Ciganjur, sambil berkata : "Sudah sampai disitu saja kah nyalimu, ga?"

Mungkin aku akan menjawab : "Iya" atau bahkan hanya membalasmu dengan dengusan perlahan. Aku lelah, Bram. Aku sedang malas berdamai dengan siapapun, terlebih dengan Semesta. Berdamai dengan diriku sendiri saja telah menyita sekian banyak tenaga dan aksara, biarkan aku menikmati pemberhentianku yang sekedar ini.

Kau bilang, kau hanya butuh 1 pelukan dariku sebelum bertahun - tahun lalu aku memutuskan untuk pergi? Hei, aku sudah pulang sekarang, sini, ku peluk kamu.

Dari pojokan kafetaria yang sengaja ku penuhi dengan komik Kung Fu Boy, Bogor pun ternyata tak mampu membuatku tak teringat kamu. Dan seringaimu yang penuh percaya diri serta menyebalkan itu, lalu tanganmu yang kau sodorkan kepadaku, sambil berkata : "Ayo pulang, sudah gelap. Lanjutkan saja kesalnya di rumah nanti."

Harusnya aku ikut memandikan jenazahmu, Bram... jadi aku tak mesti begini, rindu kepada orang yang sudah mati.

Bogor, 30 Agustus 2014

Whinnie Williams kerap kali menggodaku dengan suaranya yang mendesah, sarat dengan kegalauan namun tak ada secuilpun jengah terasa, malah ingin terus-menerus mendengarkannya. Setelah beberapa hari belakangan sangat jungkir-balik hati ini dipermainkan, bertemulah aku dengan Jumat yang menyadarkan, bahwa sudah waktunya aku tak lagi mengurusi ini dan itu. Malas menjabarkannya. Dan kali ini cuma Whinnie Williams yang mampu memahami segala kata dan rasa yang enggan ku utarakan.

Ku pikir belum ada yang mampu menyaingi betapa manis dan romantisnya sepenggalan lirik yang kerap terngiang di telinga serta selalu dimainkan oleh kepalaku, selain lirik milik MAGIC! yang berjudul "Rude" akhir - akhir ini.

"Can I have your daughter for the rest of my life? Say yes, say yes, cause I need to know."

Atau pertanyaan yang disampaikan oleh Lana Del Rey dalam lagunya yang berjudul "Young And Beautiful" dan aku yakin, akan menjadi pertanyaan semua wanita kepada partner hidupnya kelak.

"Will you still love me, when I'm no longer young and beautiful? Will you still love me, When i got nothing but my aching soul?"

Namun ternyata ada yang jauh lebih manis dan membuatku (kembali) teringat akan janjimu dulu, ketika (lagi - lagi) menonton Iron Man 3 malam ini. Scene dimana Tony Stark yang tidak sedang memakai baju pelindungnya, setengah mati ingin meraih Pepper Potts yang terjebak diantara reruntuhan besi diatas kapal tongkang yang terbakar.

"Pep! i got you, relax, just look at me! I can't reach you any further, you gotta let go! You gotta let go, i'm gonna catch you, i promise!"

Aku pernah melihat kesungguhanmu yang seperti itu. Betapa ngototnya kamu untuk membuatku percaya, bahwa, ya, kamu akan menangkapku saat aku akan jatuh tersungkur kembali menghantam aspal yang panas dan waktu yang tak pernah sudi berkompromi dengan kita berdua. Atau siapapun.

Agustus. Tinggal hitungan hari, momen itu akan genap menjadi 1 tahun. Tidak mudah, bukan? Bahkan pada saat kau berkejaran dengan segala asumsimu tentang aku, namun aku tidak ingin menyangkalnya. Bahkan aku masih sanggup terjaga bermalam-malam hanya untuk sekedar meretas kembali ingatan - ingatan yang seharusnya tak perlu ku retas. Menggali di tempat yang sama, yang tanpa jeda memunculkan luka yang kita berdua tahu, tidak akan semudah itu untuk menyembuhkannya.

Kita berdua sudah memerankan peranan kita dengan sebaik mungkin. Memainkan permainan yang hanya kita pahami tanpa perlu banyak bicara atau repot menciptakan kode rahasia. Bila kamu tak lagi terjebak di malam-malam dengan mimpi buruk yang sama, aku turut senang. Mungkin sudah waktunya giliranku yang berkemas, dan meyakinkan diri, tidak akan ada lagi episode selanjutnya diantara kita berdua. Tidak kali ini.

Pada akhirnya aku akan dapat berdansa bukan sebagai aku yang insomnia, diiringi lagu milik RAC feat. Kele, MNDR yang berjudul "Let Go" dan dapat kembali tidur nyenyak tanpa perlu takut terbangun di tengah malam, atau tepatnya diantara tumpukan - tumpukan kenangan yang belum habis masa kadaluarsanya.