Tak Pernah Mati, Tak Akan Berhenti

December 26, 2017

human rights

4 hari lagi 2017 akan berakhir, dan gue masih begini-begini aja. Nggak membawa banyak perubahan, baik ke dalam hidup sendiri, maupun ke hidup orang lain. Masih scroll timeline Twitter/Facebook/Instagram sembari diam-diam menghakimi, di kepala maupun di hati. Masih sesekali kepleset sembarangan membagi informasi yang masih belum jelas asal usulnya, belum juga di-cross check ke si empunya cerita. Masih sulit menerima kalau punya teman-teman yang sedang dalam proses hijrah, yang sehari bisa lebih dari 10x membagi ayat serta wejangan untuk teman-temannya yang lain yang belum hijrah. Masih belum move on dari Ahok-Djarot dan mencoba membuka hati sedikit untuk Anies-Sandi, sembari baca berita dan melihat foto-foto tentang Tanah Abang. 4 hari lagi 2017 akan berakhir, sementara diri belum juga selesai dibenahi. 

Banyak banget kasus yang mencuat ke publik di tahun ini, dan gue terpapar olehnya, yang bikin gue makin pesimis sama kelangsungan Negara ini. Oh, enggak.. ini bukan blog soal bagaimana menumbuhkan rasa nasionalisme di tengah-tengah kondisi sos-pol-bud yang lumayan riuh dan ringsek, baik itu di dunia nyata maupun di dunia maya. Karena makin hari batas antara nyata dan maya, setipis sagami xtreme. Ini blog tentang kerisauan gue menjalankan peran sebagai warga Negara Indonesia, serta beberapa link berita tentang kasus yang berkaitan banget dengan HAM, yang terjadi di Negara kita tercinta ini. 

1 Juni 2017

1 Agustus 2017

6 Agustus 2017

10 November 2017

21 Desember 2017


Lennon & Ono seringkali menjadi salah satu contoh, bahwa perbedaan itu indah, bahwa perbedaan itu bisa menciptakan kehidupan baru serta karya-karya yang melegenda. Lennon & Ono benar-benar menggunakan hak mereka sebagai manusia, untuk mencintai satu sama lain dan mempertontonkannya ke hadapan khalayak ramai, seakan mencoba mengingatkan orang-orang pada masa itu, bahwa sebaiknya kita semua mempertontonkan dan memberikan cinta dan kasih sayang, ketimbang perang dan kebencian. Dan gue mengamini itu. Tapi tidak dengan sebagian orang di Negara ini. Masih banyak orang membuang muka dengan jijik ketika melihat gestur penuh cinta seperti berpegangan tangan dan berpelukan, ketimbang melihat adegan persekusi ramai-ramai lantas memotret dan merekamnya lalu menyebarkannya. Menjadi Tuhan, algojo sekaligus hakim di lingkungan sendiri. Mempraktekkan kekerasan atas nama kebenaran, atau pembenaran yang nanti saja dicarinya kalau sudah puas menyiksa, fisik dan mental. Seharusnya... kebenaran nggak perlu pembenaran, dan hati nurani nggak boleh dibiarkan dibungkam. 

4 hari lagi 2017 berakhir, sementara diri belum juga selesai dibenahi. Mengubah diri sendiri memang bukan urusan mudah, tapi bukan berarti nggak bisa dilakukan. Dimulai dari, biarkan penghakiman-penghakiman atas hidup orang lain itu berhenti di kepala dan hati sendiri, tanpa perlu dibagi ke linimasa atau ke waktu-waktu kosong bersama rekan kerja atau tetangga rumah. Jangan biarkan  asumsi dan prasangka buruk menjadi aktor utama ketika mengambil sebuah keputusan, baik itu yang berkaitan dengan diri sendiri maupun orang lain. Setiap aksi pasti akan melahirkan reaksi. Dan hanya diri kita sendiri yang dapat mengontrol reaksi dari aksi yang dilakukan orang lain terhadap kita. Melawan batu dengan batu, atau api dengan api nggak selamanya bisa memberikan apa yang kita harapkan. 

4 hari lagi 2017 berakhir, dan gue makin kangen sama almarhum sahabat gue, Jopi Peranginangin

"Ku bisa tenggelam di lautan, aku bisa diracun di udara, aku bisa terbunuh di trotoar jalan. Tapi aku tak pernah mati, tak akan berhenti."

Central Jakarta, 26 December 2017
"Di Udara" - Efek Rumah Kaca

You Might Also Like

0 comments