Anatomy of Peace

 

Aerial black and white photo of ocean waves meeting and forming mirrored foam patterns across dark water.

Peace was never born from prayer,
but from wars that never end inside the chest.
Every calm breath is a truce,
negotiated between the ghost and the pulse.

I am not holy,
I am the aftermath of every storm I refused to die in.
My serenity stinks of gunpowder and tears.
Don’t call it healing; call it endurance with a limp.

I have made altars out of my mistakes,
lit them with regret,
and prayed to nothing that listens.
Still, the silence answers in its own cruel way.

I love my wounds for their honesty;
they never lie about where I’ve been.
They teach me how to live when I want to quit,
how to keep walking even when grace feels like fiction.

Because peace isn’t soft.
It’s the quiet right after screaming,
the ache that proves I’ve survived
one more night of being human.

---

Anatomi Damai


Damai tak pernah lahir dari doa,

melainkan dari perang yang tak pernah usai di dada.

Setiap helaan napas adalah gencatan senjata,

antara hantu dan detak yang masih keras kepala hidup.


Aku bukan orang suci,

aku adalah sisa badai yang menolak mati.

Ketenteramanku berbau mesiu dan air mata.

Jangan sebut ini penyembuhan; ini ketahanan yang pincang.


Aku membangun altar dari kesalahan,

menyalakan lilin dari penyesalan,

dan berdoa pada kehampaan yang tak menjawab.

Namun sunyi punya caranya sendiri untuk membalas.


Aku mencintai lukaku karena kejujurannya,

mereka tak pernah berbohong tentang di mana aku pernah jatuh.

Mereka mengajarkanku cara hidup saat ingin menyerah,

cara terus melangkah bahkan saat kasih sayang terasa seperti dongeng purbakala.


Sebab damai bukan kelembutan.

Ia adalah hening setelah jerit panjang,

nyeri yang membuktikan aku masih di sini,

masih manusia,

masih bertahan satu malam lagi.

Comments

Popular Posts