Mental Saya Mental Tempe

August 03, 2010


"There's no such thing called as an easy money or easy jobdesk,when you have to up against the wall,try another way,get a ladder or even a hammer to get through it..All of the times i spent in my life,i'll never want to give up just because for material things.I'll give up just for ALLAH.." Begitu kata Ibuku hari ini pada saat aku mengunjunginya dirumah..

Hari ini saya tidak pergi ke kantor untuk bekerja seperti biasanya, namun saya tetap terbangun dengan otomatis pada jam yang sama, jam 5.30 pagi. Pada saat saya membuka kedua mata saya, dan mengucapkan Alhamdulillah karena saya masih diberikan kesempatan untuk menghirup udara dan masih diberi waktu untuk menjalani hari, saya tidak ingin beranjak sedikitpun dari tempat tidur saya. Saya kembali masuk ke dalam selimut dan segera mengirimkan pesan singkat untuk ojek langganan saya setiap pagi, saya sampaikan padanya bahwa dia bisa menjemput saya pada jam setengah 8 nanti.

Setelah itu saya setengah tertidur, hati saya masih dihinggapi perasaan yang sangat tidak nyaman. Antara rasa malu kepada manager saya di kantor, dan juga rasa tidak percaya diri yang tinggi untuk melangkah kembali ke kantor. Sudah 1 bulan lamanya saya menggeluti dunia kerja yang baru. Tidak ada hingar-bingar musik metal, tidak ada seragam hitam-hitam, tidak ada horn signs, dan juga tidak ada lagi yang namanya tidur pada pagi hari. Dunia saya telah berubah 180 derajat. Dan saya tidak dapat merelakannya begitu saja.


Tujuan pertama saya adalah mengunjungi ibu tercinta dirumahnya. Sebelum sampai saya menyempatkan diri membeli sebungkus nasi uduk sebagai bekal teman ngobrol dengan ibu :D
sesampainya dirumah, ibu lekas bertanya mengapa saya tidak ngantor hari ini, saya langsung menjawab dengan jujur (bohongpun percuma, karena ibu pasti tahu saya bohong) bahwa suasana hati saya tidak enak sejak beberapa hari yang lalu.
Mulai dari jobdesk saya yang baru, yang sedikit melenceng dari harapan saya, sampai gaji pertama saya yang sangat-sangat-sangat jauh dari gaji saya beberapa tahun belakangan.

Ibu tersenyum sambil memegang pundak saya dan berkata ; "Ini dunia baru kamu kak, sekarang kamu paham dan menjalani sendiri, bagaimana rasanya benar-benar merubah semua yang tadinya ada di hidup kamu. No more 4 times in a week called Pondo
k Indah Mall, no more Shopping like a crazy person, no more Zara, Mango, Guess, even Christian Louboutin. And no more lazy time.."

Saya terhenyak, sesak tak karuan. Ternyata ibu memperhatikan saya sampai sedemikian jauhnya, langsung saja saya kehilangan selera untuk melanjutkan nasi uduk yang sedari tadi dengan lahapnya saya sikat. Ibu berkata lagi ; "Habiskan, jangan kamu buang lagi rejekimu, sedikit apapun yang kamu
dapat dari hasil kerja keras kamu, sedikit apapun makanan yang dapat kamu makan hari ini, nikmati, resapi dan jangan kamu sia-siakan lagi." Lalu dengan air mata yang hampir jatuh, saya lanjut menghabiskan nasi uduk saya.

Lalu ibu bercerita tentang adik
perempuan saya yang baru saja "membuat" masalah di sekolahnya. Jilan Ibadi Chandya, seorang adik perempuan yang sangat cerdas, dengan tinggi 162cm di umur yang memasuki 14 tahun, dia telah melampaui segala hal yang dengan susah payah saya kejar selama hidup saya. Seorang adik yang PERFECT di bidang akademis maupun soal agama. Dia sudah khatam Al-Quran waktu dia masih SD kelas 4, Juara 1 selama 6 tahun berturut-turut di sekolahnya, masuk ke SMP Negeri yang bergengsi dan memiliki track record sangat bagus di DKI Jakarta. Dan satu lagi, dia anggota OSIS dan salah satu murid yang diperhitungkan untuk mengikuti Olimpiade Matematika tahun kemarin. Tapi karena ada beberapa hal, dia memutuskan untuk tidak mengikutinya.


Pada waktu jam istirahat, Jilan dan teman-teman baru di kelasnya sedang asyik bersenda gurau sampai mengeluarkan suara tawa yang membahana terdengar kemana-mana, lalu datanglah si penghuni kelas lain, seorang anak laki-laki remaja, yang merasa terganggu dengan suara tawa Jilan (khususnya). Jilan marah dan mulai bertengkar dengan anak laki-laki tersebut, lalu dia mengunci diri di kamar mandi dan menelepon ayah sambil menangis. Jilan bilang kepada ayah bahwa ia kesal, dan tidak mau lagi bersekolah disitu, karena dia merasa tidak nyaman dengan lingkungan barunya setelah kenaikan kelas. Ayah datang ke sekolah dan berusaha menenangkan Jilan.

Setelah berhasil menenangkan Jilan, ayah berbincang dengan salah satu Guru Bimbingan Konseling yang ternyata telah memperhatikan Jilan sejak masuk ke sekolah itu. Saya disini mengutip cerita ibu saya yang berisi percakapan ayah dengan si guru BK.

Guru BK ; "Saya memang bukan wali kelas Jilan pak, tetapi saya ikut mengamati perkembangan anak bapak, begitu juga perkembangan anak lain. Saya mengakui bahwa di dalam bidang akademis Jilan memang sangat pandai dan sangat ambisius untuk tetap mempertahankan posisinya di peringkat 1. Begitupun di dalam kegiatan OSIS, Jilan anak yang memiliki bakat untuk menjadi pemimpin yang tegas, tetapi setelah saya mengamati lebih jauh, ternyata Jilan tidak memiliki mental yang kuat untuk berada di posisi itu. Jilan mungkin sudah terlalu banyak dipuji dan disanjung oleh orang-orang disekitarnya, itupun memang karena sela
ma ini dia sudah membuktikan hasil dari kerja kerasnya, tetapi kalau kondisi ini dibiarkan terus, saya yakin mental Jilan tidak akan kuat, dikarenakan dia tidak biasa berdiri diluar lampu sorot."

Lalu ibu pun menyetujui kata-kata yang diucapkan oleh guru BK tersebut, ibu bicara ; "Bukan ibu tidak mau membela anak sendiri, kamupun sudah merasakan dulu bagaimana cara ibu mendidik kamu, ibu mendidik kamu dengan cara yang keras. Lalu dengan Jilan ibu mencoba dengan cara yang lain, tapi justru hasilnya Jilan menjadi pribadi yang sombong dan selalu mendongak keatas. Ibu mengerti, yang namanya remaja kadang ingin mengekspos apa yang mereka miliki, karena mereka pikir orang tua mereka mampu, tapi ibu selalu mengingatkan semua anak-anak ibu untuk selalu menjadi pribadi yang rendah hati. Tidak boleh besar kepala apalagi sombong."

Ibu benar, dulu saya merasakan jaman "kekerasan" dari pribadi seorang ibu :D tidak heran mengapa saya tumbuh menjadi pribadi yang pembangkang dan selalu menenta
ng semua keinginan orang tua, walaupun saya tahu itu baik untuk saya. Saya sedih mendengar cerita ibu soal Jilan, karena menurut saya Jilan bukan seorang pribadi yang sombong, saya bisa berkata seperti itu bukan karena saya kakaknya, saya menilai Jilan sebagai orang lain. Memang Jilan agak sedikit besar kepala kalau soal sekolah, saya akui Jilan telah mendapatkan semua hal yang pernah saya kejar mati-matian untuk mendapatkannya. Peringkat 1 berturut-turut, anggota OSIS, terutama soal tinggi badan x) saya tidak mau jalan beriringan dengannya kalau tidak memakai Killer Wedges Rotelli saya, yang kalau saya pakai, tinggi kami akan sama :D

Lalu ibu memasuki topik pembicaraan tentang saya dan segala hal tentang hidup saya, lagi-lagi saya kutip kata-kata ibu dari perbincangan yang kami lakukan pagi ini :)

Ibu ; "Ingat dulu kamu seperti apa kak?"
Saya ; "Yang mana ya?Ega versinya khan banyak bu.."

Ibu ; "Yang dulu lah pastinya..jarang pulang ke rumah, nekat ke Bandung pas sebulan sebelum Ujian Nasional, belum lagi nekat ke Bali karena kamu dapat kontrak nyanyi..yah yang itu lah.."
Saya ; "Oh yang itu..iya ega ingat..kenapa?"
Ibu ; "Kamu ingat, kamu dulu itu pribadi yang macam apa?"
Saya ; "Pembangkang dan nggak peduli dengan resiko dan konsekuensi nantinya.."
Ibu ; "Ada satu lagi, menurut ibu itu yang paling penting.."
Saya ; "Apa?"
Ibu ; "Pada waktu itu kamu punya mental yang kuat, ibu yakin baja aja kalah kalau digetok ke kepala kamu.." tutur ibu sambil tertawa, sayapun ikut tertawa
Saya ; "Apa sekarang ega sudah nggak sekuat dulu?"
Ibu ; "Kalau bicara jujur, jelas sudah nggak sekuat dulu. Dulu kamu nggak pernah khawatir soal uang, bisa tidur di jalanan tanpa takut kedinginan, kepanasan, kehujanan, kamu
memang bukan tipikal anak yang betah dirumah, ibu nggak menyalahkan kamu. Ibu dan Ayah juga ada andil di masalah itu. Tapi lihat kamu sekarang? hidupmu sudah mulai settle, sudah mulai satu per satu terjamin, kamu sudah punya rumah, punya pekerjaan tetap dan penghasilan tetap, tapi kamu tidak bisa se-ikhlas dulu, tidak bisa se-sabar dulu."

Sesaat saya berusaha mencerna kata-kata ibu, dan tiba-tiba flashback itu ada di depan mata saya, tepat di depan hidung saya. Saya dapat melihat diri saya beberapa tahun y
ang lalu dengan kaus oblong dan jeans bolong-bolong, rambut gimbal, dekil dan kumel tapi saya tidak melihat sedikitpun beban di mata saya. Saya masih dapat menikmati sebungkus nasi yang saya santap dengan beberapa teman saya di pinggir jalan.

Ibu ; "Kamu udah paham sekarang?"
Saya ; "Iya.." mulut saya terasa getir saat menjawabnya. Itu realita yang ada dan saya belum dapat menerimanya dengan lapang dada.
Ibu ; "Kak..jangan pernah kamu pusingkan soal materi, soal pekerjaan yang tidak cocok untuk kamu, tentang berapa banyak penghasilan kamu setiap bulan, karena
kita semua tahu betul semua itu hanya titipan. Kalaupun saat ini, kamu masih ingin bekerja keras hanya karena ingin mendapatkan kepuasan soal materi, silakan saja, kamu masih muda, masih banyak waktu. Tapi ingat semua itu hanya sementara, hanya titipan, hanya numpang lewat. Kamu ingat waktu kamu sudah ingin beli rumah dan uang yang kamu kumpulkan sudah cukup?"
Saya ; "Ingat, waktu itu ega bertengkar sama ibu soal 2,5%"
Ibu ; "Bagus kamu masih ingat, satu hal yang sebetulnya tidak boleh kamu lupa, ya 2,5% itu. Itu hak orang lain yang diluar sana membutuhkan, mungkin buat kamu sedikit, tapi buat mereka kak..Subhanallah..banyak kak."

Saya tertunduk malu mendengar perkataan ibu. Ibu bagaikan cermin yang dapat bicara dan menggambarkan dengan sangat jelas, bagaimana ego dan nafsu telah memperdaya saya selama ini. Saya malu dan tidak tahan untuk tidak menangis, maka saya menangis dan merengkuh tangan ibu, meminta maaf atas kekhilafan saya selama ini.

Ibu ; "Tidak apa-apa..ibu sudah memaafkan kamu, tapi kamu juga ha
rus menyadari ibu dan ayah sudah semakin tua, bagaimana nanti kalau kami berdua sudah tidak punya waktu untuk mengingatkan anak-anak, itu akan menjadi sebagian dari tugas kamu sebagai kakak tertua. Itu mengapa ibu dan ayah bilang, mental kamu sudah tidak sekuat dulu lagi. Dulu dengan uang 10.000 rupiah kamu bisa jalan-jalan sampai ke Bandung tanpa pusing mikirin ongkos pulang, tapi sekarang..dengan rumah yang sudah kamu miliki, dengan pekerjaan yang kamu jalani, kamu selalu mengeluh, lebih banyak soal uang. Sabar dan Ikhlas kak..cuma itu yang ibu minta dari kamu sekarang, ibu nggak akan minta uang dari kamu, karena kamu lebih butuh."



Saya dan Ibu sebenarnya adalah pribadi yang sangat mirip dalam soal sifat dan tabiat. Yaitu keras kepala dan temperamental. Tapi sejak 12 tahun terakhir, ibu banyak berubah. Mulai dari mengenakan jilbab sampai tidak pernah lagi berkata kasar pada saat beliau marah dengan anak-anaknya. Ibu bilang, ibu berkaca dari pengalaman saat mendidik saya. Beliau tidak ingin anak-anaknya yang lain mendapatkan pendidikan dari dalam keluarga dengan kata-kata keras dan kasar, melainkan dengan kata-kata lembut namun tetap tegas. Satu hal yang terus- menerus ibu katakan kepada ketiga anaknya, bahwa kami tidak boleh menjadi pribadi yang sombong dan cepat puas lantas membangga-banggakannya dengan berlebihan atas apa yang telah kami dapatkan dari hasil kerja keras kami. Ibu selalu mengingatkan untuk terus menjadi pribadi yang rendah hati, walaupun orang lain menghina bahkan menghujat diri kami. Tidak perlu perlawanan kata-kata, melainkan perlawanan sikap. Kalau dulu saya memegang prinsip orang berbuat baik kepada saya satu kali, saya akan membalasnya berkali lipat dan orang berbuat jahat kepada saya satu kali saya akan membalasanya berkali lipat, namun sekarang, saya tidak akan membalas kejahatan orang lain. Saya tidak boleh menjadi pribadi yang mendendam, walaupun sampai detik ini saya masih dendam dengan satu orang dari masa lalu saya, namun saya akan belajar untuk lebih ikhlas dan sabar sesuai dengan apa yang kedua orang tua saya inginkan.

Mental saya memang mental tempe saat ini, lembek dan mudah hancur pada satu gigitan, tapi saya yakin dan akan berusaha, walaupun hanya tempe saya dapat membahagiakan orang lain dengan cara saya sendiri, tentunya dengan Ridho kedua orang tua saya, khususnya Ridho ibu saya. Karena saya telah membuktikannya sendiri, doa seorang ibu sangatlah manjur dan punya kuasa besar atas keberhasilan hidup saya di dunia yang baru ini. Amin :)


Coretan ini terinspirasi dari Ibu kandung saya, seorang perempuan perkasa tanpa tanda jasa yang tidak akan pernah lelah mengasuh, mengasihi serta mengingatkan anak-anaknya, terutama saya untuk terus menjadi pribadi yang rendah hati dan selalu berjalan di jalan ALLAH betapapun sangat terjal dan penuh dengan cobaan. Karena beliau yakin tidak ada yang namanya KEBAHAGIAAN HAKIKI kalau bukan bahagia dengan jalan ALLAH.











You Might Also Like

0 comments