Single or Double?

August 08, 2010

Malam minggu kemarin saya (terpaksa) menghadiri rapat payububan di perumahan saya, yang bertujuan untuk membentuk siapa yang akan menempati posisi sebagai apa dan bagaimana cara kerjanya. Saya dipaksa oleh salah satu satpam-yang sudah saya anggap sebagai teman-untuk menghadiri rapat malam itu, karena pada rapat pertama saya tidak mau menghadirinya. Pada saat saya sampai di salah satu rumah warga yang dipakai menjadi tempat rapat tersebut, saya disambut dengan pemandangan (yang menurut saya-red) sangat mengintimidasi. Istri-istri yang berjilbab, riang tawa anak-anak mereka, dan ketika saya ingin melihat pemandangan lain, yang saya dapatkan adalah, bapak-bapak middle-age yang mengenakan baju koko lengkap dengan pecinya, dan juga beberapa pemuda (yang saya rasa masih single-red) mengenakan kaos dan jeans sama seperti yang saya kenakan malam itu.

Saat saya memperkenalkan diri saya kepada semua orang yang hadir malam itu (bagian ini bapak-bapak-red) mereka setengah melongo kaget ketika saya bilang saya tinggal dirumah itu sendiri tanpa orang tua, mereka bertanya lagi tentang keberadaan orang tua saya, saya bilang orang tua saya menempati rumah mereka sendiri, dan sayapun begitu. Mereka melotot dan melongo (bukan bermaksud sombong, tapi memang itu reaksi yang saya dapatkan-red). Ketika saya memperkenalkan diri saya kepada ibu-ibu yang mungkin adalah istri dari bapak-bapak itu, tidak kalah kuatnya membuat saya ingin segera pergi dari situ secepat mungkin. Mereka memandang saya sinis, mata mereka memandang saya dari atas sampai bawah, seolah-olah mereka merasa terintimidasi dengan kehadiran saya disana. Well actually i'm the one who felt intimidate with those looks.

25 menit kemudian saya berusaha bertahan mendengarkan agenda rapat yang akan dibahas pada malam itu, sampai akhirnya saya pindah tempat duduk di pinggir pintu, di sebelah bapak muda yang mengenakan baju koko warna coklat dan berbisik ;
"Mbak kalau merasa sungkan bisa berkumpul sama ibu-ibu diluar." katanya sambil tersenyum.
Dalam hati saya berkata, saya lebih sering memilih untuk berdiri atau bahkan headbanging bersama para laki-laki dibandingkan harus menjaga image dan membuat suara tertawa yang dibuat-buat dengan para wanita. Lalu saya jawab ;
"Sebenarnya bukan sungkan pak, cuma saya memang sudah bilang dari pertama, kalau untuk urusan begini, saya memilih untuk menjadi makmum saja."
"Boleh saja mbak, yang penting mbak nanti akan di follow up soal hasilnya."
"Jadi saya boleh pulang?"
"Ya tidak apa-apa.."
Dengan mengucapkan terima kasih dengan sungguh-sungguh (lebay-red) saya bergegas pulang dan kembali menemui dua soulmates saya malam itu yang ternyata masih sibuk main kartu UNO :D sesampainya saya dirumah, saya menyumpahi mereka dan menceritakan kepada mereka, bagaimana rasanya ketika saya berada ditengah-tengah rapat itu. Mereka tertawa mengejek, dan tetap melanjutkan main kartu UNO.






















Sejak gagal dalam urusan pernikahan, saya berjanji pada diri saya sendiri untuk tidak menikah lagi tanpa persiapan yang benar-benar matang, persiapan dalam segala hal, baik soal materi maupun mental. Saya menyaksikan orang-orang dekat yang ada di inner circle hidup saya ketika mereka mulai memiliki anak. Prioritas hidup mereka berubah secara otomatis, berat badan ada yang berubah, kehidupan seks ikut berubah, begitu juga dengan rutinitas yang pernah mereka jalani sebelumnya, semua berubah. Itu salah satu alasan mengapa saya bilang bahwa menikah adalah bunuh diri disini http://goddesshell.blogspot.com/2010/05/menikah-adalah-bunuh-diri.html

Ada 3 laki-laki hebat di dalam hidup saya, yang pertama adalah Ayah sambung saya, seorang laki-laki, ayah, kepala keluarga dan sekaligus sahabat terpercaya saya. Ayah punya 2 istri dan 6 anak, atau lebih tepatnya secara darah, 5 orang anak, karena saya anak dari pernikahan ibu yang pertama. Seorang penganut agama islam aliran garis keras :D namun entah kenapa pada saat saya dan beliau duduk bersama, beliau berubah menjadi penganut agama islam yang tak lagi beraliran keras :D kami berdua sangat suka sekali membaca buku, kalau beliau soal ilmu agama, kalau saya soal filsafat yang kebanyakan aliran kiri alias sangat berbeda jauh dengan apa yang beliau baca.

Laki-laki kedua adalah seorang Vice President di salah satu Bank asing terbesar di Asia Tenggara, dia adalah laki-laki yang menerima saya apa adanya, inside and outside. Kami bertemu ditempat yang sangat tidak terduga dan memiliki relationship yang juga sangat tidak terduga. Dia yang tidak pernah bosan untuk selalu menyemangati saya, dia yang tidak pernah lupa mengingatkan saya untuk pulang ke rumah dan bertemu dengan keluarga saya, dia yang selalu merengkuh saya ke dalam pelukannya ketika masa-masa yang paling berat dalam hidup saya satu per satu menerjang dan memporak-porandakan hidup saya. Dia yang tidak akan pernah tergantikan oleh apapun atau siapapun sepanjang hidup saya

Laki-laki ketiga adalah kekasih hati tercinta-Ade GodHell-dan juga dengan segala macam on-off things di dalam hubungan kami berdua. Kekasih yang dengan sabarnya menghadapi segala bad habbit saya, semua kekurangan saya dan semua kelebihan saya. Bahkan ketika kami selesai bertengkar dia tidak akan pergi sampai saya terlelap tidur disampingnya. Kekasih hati yang tidak akan pernah berhenti mencoba untuk terus dapat mengerti dan memahami saya, dan tidak akan pernah lagi berkata bahwa ia sudah akan menyerah dan meninggalkan saya dengan penuh rasa penyesalan.


Anehnya ketika saya bertemu dengan Ade GodHell, seiring dengan waktu, semua pandangan saya tentang menikah telah berubah. Saya ingin menikah kembali, bukan dengan Mark Hoppus Blink 182 pujaan hati dari jaman SMP, ataupun dengan Channing Tatum :D tapi kali ini dengan dia. Tapi tidak begitu saja, kami berdua membuat kesepakatan tentang pernikahan, sampai detik ini kami masih menjalaninya. Saya sudah bercerita di coretan sebelumnya, tentang kehidupan baru saya yang saya jalani (lebih banyak sendiri-red) di dalam rumah baru saya. Saya merasa kesepian dan sia-sia dengan semua yang telah saya miliki saat ini, karena saya tidak dapat berbagi rasa dengan partner di dalam hidup saya, yaitu dia. Ketika saya masih tinggal di kamar kos ditengah kota, kami kapan saja dapat bertemu, tapi semenjak saya disini, itu tidak dapat dilakukan.

Saya telah masuk ke dalam lingkungan dimana kebanyakan dari mereka telah berumah tangga dan memiliki anak. Sejujurnya saya sangat merasa khawatir dan terintimidasi. Saya takut saya tidak akan bisa mingle dengan lingkungan baru saya, saya takut dengan pandangan yang menusuk hati yang telah mereka berikan selama saya di lingkungan ini. Betapa saya merindukan suasana tengah kota yang individual, dengan segala kebebasannya, dengan segala hal yang tidak cepat tertidur ditengah malam. Lantas saya berpikir kembali, kalau saya tidak dapat melewati yang satu ini, bagaimana saya bisa melewati yang lainnya di depan sana? saya harus sebaik mungkin bertahan dan mingle dengan lingkungan baru saya. Tetap pada akhirnya, saya mempertanyakan mana yang lebih aman? Single or Double?

Coretan ini terinspirasi dari rapat paguyuban warga perumahan putra mandiri regency tempat tinggal saya sekarang, dan juga tatapan para ibu-ibu berjilbab yang sedang memeluk anak mereka dengan penuh kasih sayang, malam itu. Dan juga Ade GodHell yang tak hentinya memberikan saya inspirasi atas semua yang ada di dalam hidup saya sampai detik ini :)

You Might Also Like

0 comments