Kencan Dengan Elizamoto

September 17, 2013

Semalam saya berkencan dengan Elizamoto, salah seorang sahabat yang jarang sekali saya temui, atau meluangkan waktu bersama secara intens. Buat saya kehadiran seorang sahabat tidak melulu tentang intensitas pertemuan yang begitu tinggi atau semua hal harus dilewati bersama–sama. Sahabat tidak melulu tentang menjejak tanah bersama–sama setiap waktu, namun akan selalu ada dan nyata hadirnya di setiap perputaran hidup kita, begitu kata sahabat saya yang lain Ajeng Safitri Riandarini.

Maka kemarin malam bertemulah kami, dua orang wanita yang sedang putus cinta, patah hati dan menggalaukan diri di hadapan sepiring penuh Mie Goreng Seafood dan bergelas–gelas teh tawar hangat serta secangkir kopi krim, tidak lupa berbatang–batang rokok yang tanpa bosan kami hisap. Habis sebatang, bakar lagi, begitu seterusnya.

Ibeth (panggilan sayangnya Elizamoto) dan saya pribadi yang mirip, kami berdua sama–sama pribadi yang kerap kali showing temper kepada pasangan kami, kami berdua sama–sama besar di lingkungan keluarga yang cukup bikin orang di sekeliling kami menaikkan alis dan geleng–geleng kepala, kami berdua sama–sama sulit menelan ego dan seringkali menuhankan logika. Bedanya, Ibeth Leo, saya Aries. Ibeth seorang orang tua tunggal dari seorang anak laki–laki chubby menggemaskan yang bernama Ares, saya seorang wanita yang sampai detik ini masih menginginkan seorang anak laki-laki dari rahim saya.

Lantas kemarin malam, terjadi rally “tampar–menampar” tanpa ampun sepanjang saya dan Ibeth bertukar cerita tentang hidup kami beberapa bulan terakhir.

Ibeth : “Ini sudah limit nya pacar lo, (maaf, saya enggan menyebut nama) kesabaran dia selama ini menghadapi lo akhirnya habis juga toh?”

Saya : “Yeah, it was my fault.”

Ibeth : “Just give him and you more time to think lah..”

Ibeth yang hampir 1 tahun terakhir bekerja di sebuah perusahaan yang boss besar nya memang memiliki aksen sing-lish, jadi tertular aksen yang sama. Ingin rasanya saya menyiram wajahnya dengan teh tawar hangat, siapa tahu aksen itu hilang terguyur turun dari kepala dan mulutnya pada detik yang sama. Tapi nggak tega.. biarlah Ibeth menikmati aksen sing-lish nya, yang sumpah.. bikin males..

Saya : “Beth.. did you know that most of men afraid of us?”

Ibeth : “How come?”

Saya : “Mari berhitung, dengan umur kita yang sekarang, apa saja yang sudah kita dapat dari hasil kerja keras kita, dan laki–laki mana yang nggak akan kita “mentahin” usahanya ketika datang ke depan kita, secara kasat mata nggak bawa apa–apa, dan kita bisa ngomong : ‘Mau pacaran sama gue? Punya apa lo?’ sakit khan lo kalo jadi laki digituin, padahal baru mau usaha.”

Ibeth : “Yeah, why should I waste my time for men like that anyway?”

Saya : “Justru itu.. gini, gini.. picture this : kita punya uang, kita punya jabatan, kita punya segala hal yang kita mau, sometime we’re just snapping our finger, than we got what we want. But there’s one thing left that we don’t have. Home.”

Ibeth tertegun memandangi saya selama beberapa saat, matanya berkaca–kaca, begitu juga dengan kedua mata saya. Saya merasakan sesak yang tiba–tiba datang menyergap saya dari segala penjuru. Ini rasanya mengatakan kebenaran yang selama ini saya tutup – tutupi.

Ibeth : “Bitch, I hate you.. fuck you..” ucap Ibeth sambil berusaha tertawa

Saya : “Well, sorry.. I’m just trying to be honest with myself and you, I don’t want to deny it anymore..”

Ibeth : “Still hate you, bitch!”

Saya : “Beth, berapa banyak perempuan–perempuan kayak kita diluar sana yang merasakan hal yang sama? Kita memang punya uang, punya jabatan, apapun yang kita mau saat ini, kita punya. Tapi ketika kita pulang, satu hal itu nggak bisa lo bohongin.. well, you got Ares at home..”

Ibeth : “Yeah he is my home, but I think he’s the different kind of home, if you know what I mean.”

Saya : “Exactly. Kita perempuan tetap membutuhkan laki–laki, partner di hidup kita, mulai dari hal yang sepele deh.. pernah nggak elo nemuin untuk ngebuka botol selai aja susah banget, cuma laki yang bisa ngelakuin itu, got it?”

Ibeth : “Fuck you bitch!”

Saya : “He was my home beth, but I screwed everything’s up.. I am fucked up.”

Ibeth : “Both of us fucked up, bitch. We still can fix it, though takes time.. hard fuckin time. I don’t want to end up alone, you know..”

Saya : “Well, I can see myself end up alone. I’m on a fix right now.”

Setelah menghabiskan 1 piring Mie Goreng Seafood, 2 gelas besar teh tawar hangat, 1 porsi roti bakar coklat keju dan 1 cangkir kopi krim, kami sampai di satu konklusi, membiarkan hidup berjalan sebagaimana mestinya, bekerja keras bagai kuda seperti biasanya, dan “menyembuhkan” diri kami berdua dengan cara yang berbeda. Ibeth akan ambil kelas hypnotheraphy yang sudah pernah saya ambil sekitar tahun 2005 – 2006 lalu, sementara saya akan tetap menjalani anger management class dari mentor saya, Deborah Anthonetta Gea, dan beribadah setiap harinya.

Ibeth : “Kabarin gue ya, apapun itu” Ibeth memeluk saya erat–erat sebelum kami berpisah pulang

Saya : “Will do, I’ll see you on the other side, hope it’ll be much better.”

Ibeth : “Hope so.”

Tidak ada air mata dari kami berdua. Air mata hanya menggenang di pelupuk sebentar, lalu hilang bersamaan dengan asap rokok yang kami kepulkan berulang–ulang kali. Yang saya ingat dan rasakan dengan jelas hanyalah kegetiran di sepanjang percakapan kami. Layaknya kegagalan demi kegagalan yang pernah kami dapat dan alami selama ini, persoalan yang datang kali ini sempat menjatuhkan kami dan menyeret kami kesana – kemari, namun bukan berarti kami tidak ingin memperbaiki diri. Rasanya hanya kami dan orang–orang semacam kami lah yang mengerti betapa sulitnya untuk mengubah sikap dan perilaku yang selama ini telah menjelma menjadi pribadi kami sendiri.

Baru kali ini saya mengibaratkan ex – partner saya sebagai sebuah “rumah” yang arti dari kata benda tersebut sangatlah besar buat saya. Dimana setiap waktu saya pulang kepadanya, saya dengan penuh kesadaran, menelanjangi diri saya, tanpa kepura–puraan, tanpa topeng dan tanpa niatan untuk menyakitinya. Seperti yang ia sampaikan kepada saya, bahwa “rumah” itu telah rubuh, hancur, karena saya, karena ego dan kesombongan saya selama 3 tahun 9 bulan ini. Kosong dan hampa, pergi tidur dengan mata dan kepala yang nyalang, bangun tidur dengan mata dan kepala terpejam. Segala sesuatunya belum kembali normal. Entah kapan. Saya tidak terlalu peduli, dan tidak mau tahu.

Minggu kelima, tangis dalam diam yang jahanam itu kembali menghantui saya. Pilihannya adalah, menghadapi dan menerima atau membiarkannya diam meringkuk disana, menunggu waktu untuk membuncah ke permukaan.

You Might Also Like

0 comments