Jakarta Gridlock, Menu Harian Jakartans

December 11, 2013

2013-11-29-15-41-58_deco
(Rumah Ibu di Ciganjur)

Keputusan untuk kembali pulang, atau tepatnya menumpang sementara di rumah Ibu, karena saya merasa sudah tidak sanggup lagi menyewa kamar kos yang harganya makin tak masuk akal, berkali - kali membuat komitmen saya goyah. Bukan karena sudah menemukan kamar kos yang nyaman, namun karena kondisi lalu lintas yang setiap harinya makin menggerogoti kesabaran saya. Telat 5 menit bangun, saya akan mendapatkan berjam-jam hukuman terjebak kemacetan.

Rumah Ibu yang letaknya berada di tengah - tengah perbatasan Jakarta Selatan dan Depok, membuat saya sulit menentukan pilihan ingin pergi kerja dengan menggunakan bus atau commuter line. Walau sebenarnya hampir dua minggu ini saya menggunakan bus, tepatnya KOPAJA P20 AC, namun sekarang saya mempertimbangkan untuk mencoba menggunakan commuter line.

Sewaktu Ibu membeli tanah di Ciganjur, di tahun 1988, daerah itu dan sekitarnya terkenal dengan kesan angker, sepi dan jauh dari peradaban. Begitu juga penilaian saya ketika akhirnya kami sekeluarga pindah kesana pada tahun 1996, terpaksa jauh dari teman-teman sekolah, dan beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Ciganjur pada waktu itu sangatlah ramah, ramai sekaligus sunyi dalam satu waktu, dan banyak dari teman saya yang tidak tahu dimana letak daerah tersebut. Sampai akhirnya almarhum Gusdur menjadi presiden, dan nama daerah ini mulai dikenal masyarakat luas (mungkin lebih tepatnya, teman - teman saya - red).

Sepulangnya saya dari Jepang pada tahun 2007, dan mengunjungi keluarga di Ciganjur, saya sempat tidak percaya dengan perubahan yang ada. Begitu banyak perumahan dengan model cluster minimalis dibangun, namun tidak diseimbangkan dengan kondisi jalan utama yang ukurannya masih sama seperti dulu. Makin banyak orang yang memilih untuk tinggal di Ciganjur, makin banyak mobil, makin banyak motor, makin banyak penduduknya. Saya jengah, tak kuat untuk sering-sering berkunjung ke rumah Ibu pada saat itu.

2012 saya memutuskan untuk kos dekat dengan kantor, yakni di Kemayoran. Saya yang sebelumnya tak pernah mau terlalu jauh dari Jakarta Selatan, akhirnya melompat ke Jakarat Pusat dengan hati yang tidak tenang. Ketidaktenangan itu ternyata berubah wujud menjadi ketakutan. Lingkungan yang sama sekali beda dari yang biasa, kondisi para pengguna jalan yang betul-betul ignorant, tipikal  pengguna jalan yang hit n run, dan tentu saja para jamaah yang mengagungkan kebodohan, namun kalau ditegur karena kesalahannya, mereka akan jauh lebih galak daripada herder atau pitbull.

Setahun lalu saya masih bisa bicara kepada diri sendiri seperti ini bila melihat kemacetan jalanan di portal berita : "Beruntung gue nggak perlu bangun lebih pagi untuk bisa berangkat ngantor, jadi nggak perlu mengalami apa yang mereka alami setiap hari." Roda berputar. Sekarang saya berada di posisi semua buruh yang berbondong - bondong bangun pagi untuk pergi bekerja, menjadi daging kukus di dalam bus kota, berjejalan, bertukar keringat atau menjadi sasaran pelecehan seksual di dalam angkutan umum.

2013-12-02-07-58-32_deco
(Hari pertama ngantor dengan menggunakan KOPAJA P20 AC)

Sebenarnya saya merasa sangat terbantu dengan adanya KOPAJA P20 AC yang bisa masuk ke dalam jalur bus Transjakarta, waktu yang dibuang menjadi sangat efisien. Ditambah lagi sekarang sudah tidak ada motor ataupun mobil pribadi yang nekat masuk ke dalam jalur bus Transjakarta sepanjang track Ragunan - Kuningan yang saya lewati. Hanya sesekali macet di perempatan lampu merah saja, selebihnya sangat lancar.

Namun ketika saya terlambat 5 menit, perjalanan dari Ciganjur sampai ke Cilandak langsung berubah total menjadi neraka kecil versi saya. Gridlock. Tidak bergerak. Misalnya, saya biasa keluar dari rumah Ibu jam 06.30, sampai di Cilandak 07.25 lalu sampai di kantor jam 08.45 jadi saya masih punya simpanan waktu 15 menit untuk touch up setelah berjejalan di KOPAJA. Ceritanya akan berubah drastis bila saya berangkat dari rumah 06.40, sampai di Cilandak 08.00 lalu saya terpaksa naik ojek agar bisa sampai di kantor tepat waktu, setidaknya saya bisa membuang 50 - 70ribu untuk ojek dari Cilandak ke Cikini. Budget makan siang mau tidak mau harus saya potong, agar besok masih bisa berangkat ngantor dengan uang yang ada.

20131209_081409 20131209_083724 20131209_084304
(Kondisi lalu lintas dari Cilandak - Mampang - Tegal Parang Senin 9 December 2013)

Saya bingung mau mengadu pada siapa mengenai kemacetan Jakarta yang semakin tidak dapat diterima oleh logika saya. Pastinya ada yang salah disini.. entah perhitungan waktu saya, entah logika saya, entah Jakartanya sendiri. Jakarta Gridlock sudah menjadi menu sehari-hari para penghuninya. Penghuninya siapa? ya para buruh yang setiap hari berbondong-bondong pergi bekerja, berusaha mendapatkan penghidupan yang lebih layak dari hari kemarin. Namun segala daya upaya para penghuninya tidak ditunjang dengan kondisi transportasi umum ataupun kondisi lalu lintas yang baik dan menenangkan hati.

Bila matahari bersinar terlalu terik, para pengendara motor menekan klaksonnya berkali-kali bahkan sebelum traffic light berubah menjadi hijau. Sewaktu hujan datang, para pengendara motor beramai - ramai berteduh dibawah jembatan. Mobil-mobil terhampar parkir bebas di jalanan, baik yang bebas hambatan ataupun yang tidak bebas hambatan. Namun di Jakarta, nama "jalan bebas hambatan" hanya wacana belaka. Sudah bayar mahal, banyak orang yang terperangkap di dalamnya berjam-jam, bahkan ada yang terjebak sampai 8 jam lamanya disana.

20131211_08061720131211_08063720131211_084614
(Raya Paso - Ragunan - Kuningan Selasa 11 December 2013)

Tidak heran tingkat stress para penghuni Jakarta makin tinggi. Saya yang baru kembali menjalani rutinitas berjejalan di bus kota saja sudah tak sanggup menahan amarah, tidak terbayang apa yang ada di pikiran puluhan juta orang yang setiap harinya mengalami perjalanan kantor - rumah - kantor dengan kondisi lalu lintas yang seperti foto-foto diatas. Anger management class saya rasanya menjadi sia - sia setelah tadi emosi saya meledak di tengah perjalanan menuju kantor.

Sambil ingin segera mengakhiri tulisan ini, saya kembali lagi mencermati satu lagu milik Seringai yang berjudul "Membakar Jakarta". Imajinasi liar saya mulai menciptakan tabung-tabung genosida yang saya lemparkan di tengah kota, melemparkan molotov di gedung-gedung pencakar langit, menembakkan meriam berkali-kali di beberapa titik sampai akhirnya Jakarta lumpuh total. Saya ingin membakar Jakarta. Muak, namun tidak ada pilihan lain, selain harus tetap bertahan di kota ini.

Jakarta Gridlock yang tadinya saya pikir hanya isapan jempol belaka, berubah wujud menjadi sebegitu nyatanya, karena saya sudah dan akan terus mengalaminya. Biar bagaimanapun, saya juga masih menjadi salah satu buruh yang berjejalan di kota ini.

You Might Also Like

0 comments