Hadiah Terbaik Untuk Diri Sendiri

December 23, 2020

 

airport-silhouette

Sejak pertengahan tahun ini, gue mulai bebenah semua Google Photos (mulai dari 2010-2020) dan ratusan folder personal projects. Totalnya hampir mencapai 2TB memenuhi external hard disk, dan ini sudah banyak juga yang gue hapus karena nggak terlalu penting. Untungnya sudah sejak jauh-jauh hari beli hard disk baru yang siap diisi.

Memori sepuluh tahun terakhir di Jakarta, tersimpan dan terdokumentasi dengan rapi di dalam external hard disk gue sekarang. Per tahun dengan turunan folder per bulannya, lalu turunannya lagi per folder yang gue kasih judul beda-beda. Iya, gue serapi itu untuk pendokumentasian. Kalau bisa gue bongkar dan gue kasih lihat isi kepala gue ke elo pun, hasilnya akan sama persis kayak gitu.

Ini salah satu bentuk therapeutic declutter sih buat gue, nggak suka banget ngeliat clutter terlalu banyak di Google Photos, Slides, Word, Excel dan bahkan Google Keep. Belum lagi yang ada di iCloud dan Mi Cloud, bujug. Bikin mata pedes, tangan pegel dan entah berapa juta kali bikin gue menghela nafas panjang sampai mbrebes mili pas melihat banyak memori yang seru, goblok atau bahkan bikin nyeri hati.


Berpisah Secara Virtual

Sore tadi, kolega kantor bikinin virtual farewell buat gue via Google Meet, seperti yang sudah diperkirakan sama mereka semua, gue mewek gegerungan HAHAHAHAHAHA.. Dan semua feedback mereka ke gue selama dua tahun terakhir, 99% benar adanya, nggak ada yang gue koreksi satupun. Sebegitu mengenalnya mereka terhadap gue, mulai dari hal yang kecil, sampai yang besar.

Sepanjang tiga belas tahun berkarir, baru kali ini gue ngalamin bekerja di sebuah perusahaan yang bikin gue bener-bener punya rumah kedua. Tanpa "politik kantor", tanpa backstabbing, dan bahkan bisa sangat lekat dan erat dengan keluarga gue. Dua Tahun terakhir, menjadi waktu yang benar-benar berharga buat gue. Dapat banyak banget pelajaran berharga, nggak cuma urusan pekerjaan, tapi juga personal development.

Direct boss gue orang yang sangat memperhatikan mental health anggota timnya, rekan kerja yang helpful tanpa tendensi, nggak ada tuh penghakiman-penghakiman nggak jelas juntrungannya selama gue bekerja dengan mereka. I can say, this is the best and solid team that I ever had for thirteen years of my career, for real. And I am very grateful for these... Berpisah secara virtual adalah cara kita saling menjaga satu sama lain, and I won't take this for granted.


Hjaltalín dan Keresahan Yang Belum Sampai di Titik Kejenuhan

Seharian ini gue hanya mendengarkan Fuel Fandago (Spain) dan Hjaltalín (Iceland). Sampai malam ini, hanya fokus mendengarkan Hjaltalín saja, satu lagu yang gue ulang terus-menerus : "Lucifer/He Felt Like a Woman". Ide besarnya adalah menceritakan bagaimana dan apa yang dirasakan oleh Lucifer, anak buangan Tuhan, yang direpresentasikan di lagu ini sebagai sosok yang narcissistic.

To some extent I feel like Lucifer, saat membaca lirik yang dibuat oleh Hjaltalín di lagu ini :

"I found love in myself
So someone could love me back
But I don't see that anyone's loving me, like me
I saw light in the street
A serpentine reflection
I can see that nobody's looking at me, except me"

Gue menemukan cinta terhadap diri gue sendiri entah kapan tepatnya, lalu gue berusaha membuat orang lain (potential partners, for this context) untuk bisa mencintai gue seperti gue mencintai diri gue sendiri, which is an impossible thing to do. Sampai pada konklusi, bahwa nggak ada orang lain yang bisa mencintai dan merawat gue, sebaik dan se-kece diri gue sendiri.

Segala macam keresahan, kegundahan tentang keluar dari zona nyaman selama sepuluh tahun terakhir ini membuat gue gemetaran sebadan-badan, gue belum ketemu sama titik jenuhnya di mana dan kapan. Yang terbaik yang bisa gue lakukan sekarang adalah, berusaha menikmati semuanya. Takut ya takut, pingin nangis ya sudah nangis saja, butuh curhat ya segera kontak support system yang lagi nggak kelelahan, dsb.


Make Peace, Isn't An Easy Thing To Do

Gue nggak akan pernah mau kembali ke waktu di mana, buat menutup mata di malam hari saja rasanya kayak digebukkin Satpol PP atau bahkan Provost (I got those, long time ago. Gue lebih milih ini sih, daripada dapat silent treatment). Gue nggak akan pernah mau kembali ke waktu di mana, untuk bisa menatap kedua mata lawan bicara saja, rasanya mau muntah dan lekas pergi sejauh-jauhnya.

Gue nggak akan pernah mau kembali ke waktu di mana, gue hidup di bawah bayang-bayang nama besar seseorang. Gue nggak akan pernah mau kembali ke waktu di mana, kekecewaan terbesar datang justru dari orang-orang terdekat yang mengenal gue inside-out.

Terlebih, gue nggak akan pernah mau kembali ke waktu di mana, apa yang sudah gue berikan disia-siakan begitu saja. Sehingga, gue belajar untuk mengatur ekspektasi gue terhadap apapun yang berada diluar kontrol gue sebagai manusia biasa, dan berdamai dengan segala hal yang sudah terjadi selama sepuluh tahun terakhir.

Sekarang, mengetik ini terasa mudah sekali, tapi percayalah.. prosesnya nggak semudah nge-like tweet/post di social media. Ada ego yang sebaiknya senantiasa kita rawat namun juga nggak berlebihan. Ngasih makan ego itu jelas ngeri-ngeri sedap, semacam punya nyali besar buat bangunin macan yang lagi tidur enak.


Rehat Sejenak, Agar Tetap Waras

Awal tahun depan, gue bisa mengambil rehat sejenak, setelah sekian lama berjibaku dan kerja keras bagai kuda, agar tetap waras dan gaspol produktif lagi. Ini adalah salah satu hadiah terbaik yang pernah gue berikan buat diri gue sendiri, rehat sejenak.

Jangan lupa rehat ya, kalian berhak untuk rehat dan tentu saja, untuk bahagia.


South Jakarta, 22nd December 2020

You Might Also Like

0 comments