Memikul Karma Para Pendahulu

May 10, 2021

 

pexels-pills-person

Dulu sekali almarhum Ayah pernah bilang : "Dosa yang dilakukan oleh anak, akan ditanggung oleh orang tuanya, selama mereka belum menikah. Ketika mereka sudah menikah nanti, otomatis dosanya akan ditanggung oleh pendamping hidupnya."

Gue, seorang perempuan mandiri, breadwinner di keluarga kami, janda cerai hidup, yang sedang menjalani kehidupan baru karena masih diberikan kesempatan untuk melakukan hal tersebut, tertegun ketika mengingat kalimat beliau.

Sejak kepergian beliau dua tahun lalu, lagi-lagi Tuhan meletakkan beban yang cukup berat di kedua pundak gue. Janji yang pernah gue ucapkan dulu ke almarhum Ayah benar kejadian, gue menjadi satu-satunya tonggak stabilisasi ekonomi dan mental di keluarga kami selama kurang lebih dua setengah tahun. Sampai akhirnya pindah dan menetap di Ubud untuk bekerja sejak awal tahun lalu. And when I look at my siblings today, I am so proud of them and so proud of myself and of course, our Mom. We did it.

Saat tertegun mengingat kalimat tersebut, lantas pertanyaan yang muncul di kepala gue cuma satu : "Kalau orang tuanya meninggal duluan, siapa yang akan memikul dosa-dosa masa lalu yang sudah mereka lakukan selain anak dan cucu mereka nanti?"


Streets Curriculum

Gue bukan orang yang sabar, gue juga bukan orang yang perhitungan terhadap bantuan baik secara moril maupun materil kepada siapapun yang membutuhkannya. Brengseknya, gue bukanlah seorang pemaaf. Bahkan terhadap diri gue sendiri. Jadi bisa dibayangkan, bagaimana gue akan memperlakukan diri gue sendiri ketika gue melakukan kesalahan kan?

Gue tumbuh besar di jalanan, bersama sopir angkot, sopir PPD, Patas AC, P.O Deborah, Metro Mini, Kopaja, Bajaj, pedagang sayur di pasar, kernet, punk kentrung sampai ke level pemilik wilayah di Blok M, Senayan, Tn. Abang, Senen, Kemayoran bahkan sampai ke Tj. Priok dan Cilincing. Melihat berbagai macam manusia mulai dari kelas sosial yang paling bawah sampai level paling atas pun, gue hafal modelnya seperti apa. Dari mereka gue belajar, satu-satunya cara bertahan hidup adalah dengan terus mengaktifkan defense mode kita tanpa rasa lelah dan jangan sampai lengah.

Sikap yang skeptis dan kritis, serba berhati-hati, lebih banyak diam untuk mendengarkan dan memperhatikan orang lain, menjadi makanan sehari-hari, pelajaran paling mahal yang nggak pernah gue dapatkan di bangku sekolah maupun kuliah.

Pelajaran-pelajaran tersebut beberapa kali membuahkan bogem mentah atau pukulan pentungan dari Satpol PP, TNI AD, aparat kepolisian dan preman-preman yang terlewat ditembak Petrus pada zamannya. Semburan ludah, caci-maki, verbal abuse bak side dish di keseharian gue dulu. Mungkin itu yang menjadikan gue bisa se-bebal dan se-nggak mau toleran seperti sekarang, sama yang namanya penipu, pencuri, dan siapapun mereka yang secara norma sosial ada di kategori berlabel penjahat.

Tentu hidup bukan cuma perkara hitam atau putih, dan para penjahat-penjahat itu punya alasannya masing-masing untuk melakukan kejahatan mereka. Tapi buat gue, sekali elo jahat sama orang lain, bahkan walau misalnya elo ngelakuin kejahatan elo buat ngebales itu orang, you're on the same level with them. Ya penjahat. No more excuses for me.


Sering Ditipu Karena Terlalu Baik

Ditipu sama orang yang gue anggap sebagai teman, pas mau bangun bisnis bareng-bareng? Pernah. Ditipu sama orang yang gue anggap sebagai partner hidup gue, namun ternyata cuma mau mengambil keuntungan baik itu soal seks maupun uang? Pernah. Gue nggak akan pernah kehabisan cerita soal yang beginian. Nyeritain ini sambil mabuk tujuh hari tujuh malam juga nggak akan kelar, kecuali nyokap gue datang dan nyuruh gue pulang. Ya gue pasti nurutin nyokap lah.

"Kamu dan Ayah itu setali tiga uang, terlalu baik sama orang yang bahkan nggak kalian kenal dekat, makanya mudah ketipu."

Begitu kata Ibu, entah berapa tahun yang lalu. Ibu yang irit ngomong, sekalinya ngomong sudah pasti akan nyelekit dan susah untuk dilupakan. Sejak hari rekonsiliasi kami, beliau makin jarang ngomong. Karena beliau paham betul, anaknya yang paling besar ini nggak butuh unsolicited advices even from her Mom. Wise move after all.

Berkali-kali gue berdoa dan bertanya ke Tuhan gue :

"Kalau menjadi orang baik saja masih sering disakiti dan dikecewakan orang lain, apa mungkin kali ini gue jadi orang jahat saja sekalian? An eye for an eye, let me burn them to the ground and spit on their ashes."

Surprisingly, Tuhan malah ngasih gue buanyak banget kebaikan dari orang-orang yang ada di sekitar gue. Dan kebanyakan dari mereka justru belum terlalu lama gue kenal. Brengseknya, gue mulai kehabisan alasan untuk berubah jadi orang yang jahat dan yah... menipu balik para penipu tersebut.


Memikul Karma Yang Entah Kapan Berakhirnya

Life after Dad passed away? Tough and challenging. Gue kehilangan pegangan hidup serta kehilangan partner diskusi berbagai macam hal. Mulai dari bisnis, politik, sosial, budaya, bahkan soal filsuf-filsuf kesukaan kami berdua. Mencari dan mendapatkan partner yang bisa berdiskusi hal-hal macam ini juga nggak semudah nyerok encu di got, beli sneakers, atau bahkan koleksi likes di Tinder, naujubilah susahnya. Dan gue nggak akan nurunin standar gue sampai kapan pun.

Dengan kepergian Ayah otomatis gue menerima tongkat estafet yang nggak cuma berkutat di persoalan stabilitas ekonomi dan mental keluarga, melainkan banyak sekali hal yang nggak pernah beliau omongin semasa hidup, satu per satu naik ke permukaan dan nongolin wujud aslinya. Sampai hari ini, masih banyak misteri yang belum berhasil gue dan kedua adik gue pecahkan. Dan kami kehilangan banyak petunjuk, bahkan untuk sekadar kembali mengatur strategi.

Gue dan kedua adik gue memikul segala hal yang Ayah lakukan dulu sekarang, detik ini. Hal yang baik dan juga yang buruk, kami yang pikul. Porsinya tentu saja mau nggak mau, suka nggak suka, lebih banyak di gue. Namun gue nggak pernah mengecilkan segala perjuangan kedua adik gue untuk terus membantu gue lewat jalur apapun.

Gue terlalu getir dan letih untuk menciptakan kalimat-kalimat positif yang memotivasi kami sekeluarga. Too fed up and overwhelmed. If only I could stop the time right now, I'm just gonna take a long nap and hoping, I don't have to wake up to see another day.

Pahitnya perjalanan dan pelajaran hidup, seharusnya bisa membuat kita lebih menghargai segala hal manis yang hadir di keseharian kita. Disakiti dan dikecewakan orang lain, seharusnya bisa membuat kita untuk belajar lebih tekun lagi agar nggak terpancing lantas melakukan hal yang sama seperti mereka.


P.S
I find myself on his artwork lately, and this is one of them.

joseph-andrew-spit-shined-fiction


Ubud, 10 May 2021
"Colorblind" - Counting Crows

You Might Also Like

0 comments