Resentment

January 26, 2023

 

(Gili Air Island, 31st December 2022)

Sudah pasti gue adalah salah satu dari delapan milyar manusia lainnya di muka bumi ini, yang masih belum selesai dari grievance phase atau bahkan ternyata diam-diam masih menyimpan regrets dan resentment. Alias belum moved on or even moving forward dari apa yang sudah lewat. Regardless how long it's been going on.

And I hit rock bottom, once again...

Agustus - Desember 2022 menjadi periode yang cukup berat gue jalani. Sepanjang hampir lima belas tahun berkarier, belum pernah sekalipun gue kena lay-off, and there's always a first time for everything, I suppose. I knew it was coming, my team knew it was coming. It was going to be our second wave's lay-off. Kami semua dalam posisi sedang berlari kencang bersama-sama, berharap menjelang Q4 2022 kemarin itu kami akhirnya akan bisa bernafas sedikit lega setelah melewati tons of challenges and we actually did achieved more than we planned. So it was extremely bitter for me, and of course for all of us. A giant pill that it was so hard for all of us to swallow. 600 people from different divisions and business units.

I barely functioned after the announcement. Sure I still got two freelancing jobs that can cover my basic needs, and I still feel I have quite enough to cover my health insurance. Tapi kehilangan penghasilan tetap yang menjadi backbone atas segala rencana dan cita-cita, bikin gue "tumbang" dan temporarily paralyzed. I was thinking; "I'm gonna be okay, I'll get another steady job in no time. Sure this is hard, but I'm gonna get through it like I used to." kenyataannya gimana? Sampai hari ini, gue belum dapat steady job satu pun. And from time to time, I feel it's getting harder and harder to manage my stress and concerns about this. These bills that I gotta pay it's starting to mock me every single day.

Dipaksa kembali oleh hidup untuk belajar

(Batu Bolong Beach, October 2022)

Don't get me wrong, rock bottom is a long friend of mine. Gue bisa menyebutkan kapan saja gue "mampir" kembali di posisi ini secara chronological, runut dan detil. Setiap kali gue kembali ke posisi ini, hal yang pertama kali gue lakukan setelah menghela nafas panjang adalah menyesap bergelas-gelas Jägermeister (zaman belum mampu beli Jäger, paling banter Topi Miring atau Pletokan) sambil mengajak siapapun dan apapun yang tinggal di situ ngobrol lama, panjang dan intens. Did I blame myself upon the situation that I am in? Of course. Gue jarang melewatkan hari tanpa menyalahkan dan mengoreksi diri sendiri lebih keras dari siapapun. Always got myself prepared for the worst case scenario. Maybe that's why, when the best things happened to me, I would be overwhelmed and feel surreal most of the times.

Hasil obrolan tersebut adalah, ya harus diterima, gue dan sekian banyak orang yang kena lay-off dari perusahaan itu, dipaksa kembali oleh hidup untuk belajar. Mata pelajarannya gak jauh-jauh dari; kesabaran, keikhlasan, adaptasi, kegesitan dan tentu saja ketabahan. Dan ini bukan perkara bakal "naik kelas" atau enggak, karena menurut gue hidup itu punya mata pelajaran yang memang sudah digariskan, dan semua orang bakal ngalamin terus aja gitu. Fuck that "naik kelas" term, for me this is all about our mentality. Dihajar terus-terusan sama hal yang nggak enak di sebagian besar waktu di hidup kita, bikin kita makin kuat at some point, that's true. Naik kelas? Belum tentu.

Jujur, gue maju mundur untuk menuliskan ini di sini dan publik bisa mengaksesnya dengan bebas. Entah kenapa selama hampir setahun, gue kembali nyaman untuk menuliskan semuanya di jurnal pribadi, dan cuma gue yang punya akses ke situ. Tapi mungkin, di luar sana ada juga orang-orang yang masih struggling dengan rasa yang sama seperti gue.

Resentment yang terjun bebas setiap hari

Semenjak hari nahas itu, gue memotong banyak sekali pos pengeluaran sekaligus tabungan. Segala macam perhitungan finansial yang gue tahu dan terus pelajari, akhirnya missed juga. Lagi-lagi ditampar dengan "Manusia boleh berencana, Tuhan dan tabungan dana darurat yang menentukan" itu rasanya enggak akan pernah enak, walau sudah berjaga-jaga dari jauh-jauh hari, tetap aja pedas pas mendarat mulus di pipi maupun sekujur tubuh.

Hoping the rain would wash it all away

(Kelabangmoding Village in Ubud, January 2023)

Dari temporarily paralyzed, memaksakan diri supaya bangkit lagi, tumbang lagi, bangkit lagi, sampai juga akhirnya di titik yang... "Anjinglah... this gotta stop now, bruh!" it's been five months now, but those resentments keep burning me up like a fuckin wildfire. And I'm the only one who could stop this. That's why I drove my bike through the heavy rain today, hoping some of it would wash it away because I'm so sick and fuckin exhausted from this resentment.

A Day To Remember definitely helped me to make these days remember and get through it. Hidup yang terus-menerus ngasih pelajaran, hari-hari yang dilewati dengan setengah hati for the sake of surviving, malam-malam yang dihabiskan menatap ke langit-langit kamar sambil membuat daftar hal-hal yang bisa dikerjakan untuk esok hari, suara-suara di dalam kepala yang terbagi menjadi dua kubu, mencoba memerintahkan gue buat angkat koper dan terbang pulang ke Jakarta... dan di waktu pagi hari, gue duduk di teras kamar sambil menatap matahari yang perlahan naik, lalu bikin gue ngobrol sama diri gue sendiri: "Jakarta atau Ubud, keduanya sudah menjadi rumah buat gue pulang. Kalau memang elo digariskan buat kembali ke ibukota dan menjadi budak korporat lagi, ya bisa apa? Tapi memang pulang ke Jakarta itu sudah bukan lagi sebuah opsi, Ga. Perjalanan elo di Ubud belum selesai."

Hidup buat sampai besok dulu, lusa dipikir nanti

Mas Arik (landlord gue yang subhanallah, supportive dan sangat mengurus gue dengan kasih sayang banget, begitu pula dengan keluarganya) selalu mengingatkan gue satu hal ini: "Pikir hidup buat sampai besok dulu aja, Ga. Buat lusa dipikir nanti, jangan tambah bebanmu lagi." dan beberapa kali gue sempat enggak setuju sama beliau soal ini, karena buat gue, sebagai manusia, kita perlu membuat sekian banyak rencana serta cadangannya kalau sampai ada apa-apa. Tapi akhirnya, gue mulai mengerti dan memahami pengingat beliau yang ini, karena yah... kalau besok kelar, dan lusa kita masih dikasih nyawa buat hidup, baru setelah itu pikir langkah selanjutnya. Dari beliau dan keluarganya juga lah, gue belajar untuk bisa merayakan kemenangan-kemenangan kecil setiap hari.

(Kelabangmoding Village in Ubud, January 2023)

Mungkin memang kita semua kudu ngelakuin ini, enggak tahu sampai kapan. Segala hal yang enggak stabil itu memang enggak akan bikin kita tenang, jadi rasanya mendingan ciptakan kestabilan kita sendiri dulu. Termasuk menghentikan resentment cycle yang masih berputar saat ini.


Ubud, 26th January 2023
"Resentment" - A Day To Remember

You Might Also Like

0 comments