Merasa Cukup Itu Penting

November 22, 2020

praying-hands-candles

I never thought this Pandemic will put us in a lockdown for more than 3 months. But look at all of us now, we're almost reach the end of November. And I think we're all agree that this year, 2020, is the toughest year (after the Great Depression that I never experience, or Indonesia Monetary Crisis 1998 that I experienced it) for everyone in this whole world.

One thing that I'm not really sure, that we can recover from this, mentally, in short time. That's why I don't believe in this so called "new normal" thing, since what we had back then before Pandemic, most probably would never comeback.


Harapan Adalah Pisau Bermata Dua

Kemarin sore, gue iseng-iseng bikin voting content di Instagram Stories, mencoba mengumpulkan pendapat followers gue, dan berusaha untuk mendapatkan konteks yang lebih kuat untuk melanjutkan tulisan ini. Hasilnya kurang lebih seperti yang gue prediksi.



Gue selalu mengingatkan diri gue sendiri dan juga kedua adik-adik gue, bahwa kita sebagai manusia biasa, boleh saja berharap tentang apapun yang mau kita raih di hidup kita. Mulai dari hal kecil, sampai hal besar yang butuh kerja keras, komitmen, kedisiplinan dan energi yang bakal kita investasikan di situ. Tapi, (lagi-lagi) sebagai manusia biasa, ada baiknya kita mengharap sesuatu sesuai dengan kemampuan dan kapabilitas kita.

Manusia itu bukannya berubah, melainkan menjadi pandai beradaptasi terhadap hal-hal yang terjadi di hidup kita. Kelincahan kita untuk mampu beradaptasi itulah yang mampu menentukan hidup kita bakal dibawa ke mana, dengan cara apa. Termasuk memperhitungan risiko dan konsekuensi serta tanggung jawab yang akan kita tanggung. Entah dalam jangka waktu yang pendek maupun panjang.

Dan harapan buat gue adalah pisau bermata dua. Berharap terlalu sedikit, seringkali malah nggak bikin kita lebih maju untuk bisa bergerak keluar dari zona nyaman kita. Berharap terlalu banyak, malah selalu mengecewakan, karena secara tidak sadar kita menjebak diri kita sendiri dengan segala macam ide tentang harapan-harapan itu sendiri.


Belajar Tentang Merasa Cukup

Sebagai anak yang besar di bawah bimbingan Kakek (pensiunan Tentara) dan Nenek (mantan koki), hidup gue dulu sehari-hari ya sama mereka. Mulai dari bangun tidur sampai pergi tidur lagi. Nyokap gue adalah seorang wanita karir yang punya peran sebagai salah satu tulang punggung keluarga. Itu kenapa, hidup kami dulu nggak susah-susah banget lah, melainkan cukup.

Lalu saat hidup kami berlimpah materi, segala hal bisa kami beli, dan bahkan seminggu sekali bisa jajanin anak tetangga yang perawakannya lucu dan menggemaskan, kami mulai lupa untuk bijak dalam mengeluarkan uang yang kami punya.

Ada satu momen, saat kami makan bersama di restoran, gue yang memang dari sononya suka sekali makan, selalu mengambil porsi yang terlalu banyak, makan terlalu cepat, sampai akhirnya kekenyangan dan nggak bisa gerak dengan leluasa. Sampai akhirnya almarhum bokap gue ngomong : "Makan sebelum lapar, berhenti sebelum kenyang."

Dulu gue selalu meremehkan kalimat pengingat dari almarhum bokap gue ini, sampai akhirnya beliau ngajak ngobrol lebih lanjut lah mengenai ini. Dimana kalimat tersebut diambil dari sebuah hadits yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW zaman dulu kala. Bahwa manfaat sebenarnya buat siapapun (khususnya Muslim disini) makan ketika memang sudah lapar atau sedang membutuhkan, dan waktu makan nggak boleh berlebihan sampai kekenyangan, karena bisa membahayakan diri kita.

Almarhum bokap menggunakan kalimat tersebut nggak cuma terbatas mengenai persoalan makan, yang mana ini kebutuhan dasar kita sebagai manusia, namun ini juga bisa diimplementasikan di aspek hidup kita yang lainnya.

Belajar merasa cukup sejak awal hendak melakukan apapun, dan berhenti sebelum merasa paling bisa melakukan apapun. Ini hasil interpretasi gue selama hampir 10 tahun sejak diskusi tersebut terjadi.


Hidup Dibangun Oleh Harapan, Ikhtiar Diserahkan di Tangan Tuhan

Hidup terdiri dari berbagai macam pilihan, ratusan doa disematkan tiap detiknya, dan senantiasa dibangun oleh harapan-harapan yang dipanjatkan baik secara sadar maupun enggak. Segala macam ikhtiar yang sudah kita lakukan, baik yang buruk maupun yang baik di mata society (I'm not here to judge you, I don't function that way), pada akhirnya semua kita serahkan ke tangan Tuhan. Apapun dan siapapun Tuhan yang elo sembah, agama dan kepercayaan apapun yang elo anut.

Itu kenapa kita nggak pernah bisa tahu the exact thing that will happen to us tomorrow, next week, next month, etc. Kita punya kemampuan untuk memprediksi, membaca tren, tingkah polah dan juga perilaku untuk membuat langkah-langkah preventif yang kita butuhkan, namun kita bukan Tuhan. Kita, manusia biasa, bukanlah ilmu yang eksakta.

Mari saling mendoakan apapun yang kalian harapkan agar bisa terwujud di tahun depan, karena gue percaya, ini adalah salah satu cara kita bisa saling menguatkan satu sama lain dari jauh. Dan mari belajar untuk merasa cukup dengan apa yang kita miliki saat ini, bukan hanya sekadar untuk mengingatkan kita agar terus bersyukur, melainkan agar kita bisa menjadi manusia yang seutuhnya.


South Jakarta, 22nd November 2020
"Good Enough" - Tiny Moving Parts

You Might Also Like

0 comments