Lost Generation

March 08, 2014

lost_generation_jonathan_reed

Ketika kemarin pagi saya menumpahkan kekesalan saya akan kemacetan yang setiap harinya saya alami dari Pd. Labu – Fatmawati melalui timeline twitter saya, twitter ramai membicarakan kasus pembunuhan. Iya soal seorang pemuda tanggung yang belum move on dari mantan pacarnya, lalu berhasil mempengaruhi pacar barunya untuk membantu membunuh mantan pacarnya tersebut. Saya nggak kepengen membahas soal mereka, sudah terlalu banyak kanal berita lokal yang memberitakannya. Mulai dari kronologis kejadian sampai tertangkapnya kedua pelaku pembunuhan tersebut.

Kemarin malam, setelah berhasil menyelesaikan pekerjaan di kantor, saya segera bergegas menuju Angkringan Fatmawati, makan malam sekaligus bertemu beberapa teman lama, untuk kembali mengerjakan project bersama. Di tengah pembicaraan tentang scene, rock star attitude, groupiesgenre yang sedang naik daun, muncul lah pembicaraan mengenai regenerasi. Pertanyaan pertama yang saya lemparkan ke teman–teman saya adalah : “Apa yang membuat mereka sampai secepat itu membuat keputusan untuk membunuh?”

Pernah dengar soal seorang anak, kelas 5 SD, mengancam bunuh diri karena cintanya ditolak teman sekelas? Atau murid SMP menusuk orang tua kandungnya sendiri karena kesal nggak dibelikan Blackberry? Yang paling gila belum lama ini adalah, seorang adik yang bisa membunuh kakaknya, hanya karena sang kakak berhasil melewati skor Flappy Bird nya, dan juga kasus seorang anak berumur 19 tahun yang menuntut orang tuanya agar memberikan biaya untuk kuliah dan hidupnya, yang padahal sang anak minggat dari rumah, hanya karena ibunya meminta ia mengikuti aturan yang ada di rumah mereka.

Ada apa dengan anak – anak tersebut?! Pasti ada yang salah. Yang biasanya, dalam banyak kasus, kita menyalahkan pihak orang tua, sebagai pendidik, sebagai role model, sebagai penanggung jawab akan hidup sang anak. Saya pribadi lahir dan besar di dalam lingkungan keluarga yang cukup carut marut. Tumbuh sebagai troublemaker sejati. Kemana saya pergi, saya pasti akan meninggalkan masalah, diluar rumah.

Keinginan membunuh itu pasti ada di setiap hati manusia. Pasti. Tergantung pribadinya masing – masing, bagaimana harus mengatur nafsu membunuhnya ini. Ada yang merencanakannya dengan matang, sistematis, ada yang memang hasil dari lonjakan emosi yang tidak dapat dibendung.

Pembicaraan saya dengan teman – teman saya tentang regenerasi menjadi begitu lebar, tidak hanya mengacu di satu aspek saja. Kami membandingkan, ketika kami semua berada di fase dan umur yang sama dengan anak – anak pelaku kekerasan dan pembunuhan tersebut. Saya berseloroh : “Kalau memang si Hafit nggak bisa move on, kenapa sih nggak mabok – mabokan aja? You know, fucked up your own life, not somebody’s life. A whole family.” Lantas salah satu teman saya menjawab : “Beda jaman ga, we’re in the middle of lost generation. Mereka dengan sengaja membuat hidup mereka terisolasi dari kehidupan yang benar – benar bersosialisasi.”

Uh, waktu pertama dengar dia bilang begitu, saya mengerutkan dahi. Beberapa menit kemudian baru paham makna dari kalimatnya tersebut. Ada betulnya. Berapa juta orang yang lebih nyaman ngoceh di social media ketimbang sewaktu ngumpul dengan teman, intens saling mendengarkan? Lantas regenerasinya bagaimana? Apa memang kita hanya akan diam, berpangku tangan sambil menonton di pojokan, bahwa regenerasi yang kita harapkan tidak akan terjadi? Lantas apa gunanya kita, sebagai pendahulu mereka? Para remaja yang tersesat di dunia yang serba ada dan serba instant seperti sekarang ini?

Mengapa tidak ada forum–forum diskusi yang betul–betul dibutuhkan para remaja, hadir di Negara ini? Ingin diskusi mengenai sebuah buku saja sudah banyak pihak yang ketar–ketir, disangka akan makar, disangka sesat, disangka illuminati. Geram. Bagaimana remaja–remaja ini mampu bersuara dengan gigih, bukan semata–mata hanya ingin tampil dan cari panggung, namun betul–betul membuat karya, melanjutkan perjuangan yang bahkan belum selesai sampai sekarang? Mengapa saya nggak melihat passion itu di wajah–wajah remaja jaman sekarang? Mereka hanya sibuk memoles avatarnya dengan camera 360 apps, membuka etalase pencitraan di social media, memaki orang tua mereka hanya karena mereka belum disuguhi makanan diatas meja. Kesal.

Maka dari itu, sewaktu saya membaca tulisan salah satu teman baik saya, vocalist dari Dagger Stab dan ((AUMAN)), yakni pelorrian, yang dimuat di digital magazine Rolling Stone Indonesia, saya bergidik. Bulu kuduk meremang. Gamang. Khawatir. Bukan hanya persoalan regenerasi di scene, melainkan regenerasi di Negara ini. Sudah terlalu banyak remaja yang bermanja–manja, disuapi berbagai macam teknologi, sampai menggerakkan pantatnya saja susah minta ampun. Saya belum bisa melihat pergerakan kita secara signifikan di 3–5 tahun mendatang.

Ini bukan nasionalisme, apalagi patriotisme, atau apapun itu. Saya sebagai warga Negara ini saja merasa tidak dilayani dengan baik oleh para aparatur Negara, walau saya sudah membayar dengan harga yang bahkan pernah 10 kali lebih tinggi dari harga biasanya. Saya, hanyalah individu yang merasa miris dan geram dengan keadaan sekitar saya, tanpa bisa berbuat lebih banyak daripada yang sekarang bisa saya lakukan. Setiap kali menghabiskan waktu dengan teman – teman terdekat saya, sebisa mungkin saya ingin kembali menjalin komunikasi yang mungkin sempat terputus, menanyakan kabar, saling bertukar cerita, atau kalau bisa menciptakan sebuah karya dan peluang. Saya mendiamkan gadget saya selama beberapa waktu, teman–teman saya membutuhkan saya seutuhnya, begitu juga dengan saya. It’s a maintenance time.

Untuk semua para remaja yang mungkin sedang tersesat, saya minta tolong, belilah kaset atau download lah kalau memang kalian malas usaha, atau mungkin bisa pinjam dari kakak/Oom/Tante/Ayah/Ibu kalian, sebuah kaset dari Dewa 19, yang bertajuk Pandawa Lima. Dengarkan lagu yang berjudul “Aku Disini Untukmu”. Karena sebenar–benarnya lirik yang diciptakan oleh Ahmad Dhani dan dinyanyikan oleh Ari Lasso, Kami Disini Untukmu.

Kami, para pendahulumu, sangat mengerti dan paham, bahwa kalian memiliki banyak masalah, yang mungkin enggan untuk kalian ungkapkan, karena takut dicemooh “anak kemarin sore, tahu apa?” atau takut dihakimi, atau takut tidak didengarkan, atau bahkan di bully massal. Kami paham. Tapi tolong mengertilah juga, ketika pada akhirnya kalian datang pada kami untuk bercerita, dan meminta pendapat, pertimbangkanlah pendapat kami, jangan selalu membangun tembok yang kalian sebut sebagai “harga diri” tersebut terlalu tinggi.

Jangan manja, jangan menganggap semua keputusan yang kalian buat saat ini tidak akan memiliki efek di kehidupan mendatang. Jangan sampai kalian menumpuk rasa penyesalan, lalu akhirnya menyerah dan bunuh diri. Jangan menjadi pribadi yang lemah, yang gampang dihantam oleh apapun. Berani karena benar, bukan berani karena benar lantas cari panggung sana–sini lantas main opera sabun.

Regenerasi itu sangat penting, di semua aspek kehidupan. Apa yang bisa kamu berikan kepada inner circle mu saat ini? Bila itu kebaikan, lakukan sekarang juga, jangan ditunda. Jangan menjadi mati yang hanya tinggal nama dan kenangan buruk. Matilah menjadi pribadi yang akan selalu dirindukan sosoknya, pendapatnya, karyanya.

Ah, saya langsung teringat alm. Robin Hutagaol dan alm. Rio Rottrevore. Rindu. Merindukan waktu-waktu dimana saya bisa menyaksikan mereka berdiskusi dengan seru sampai lupa waktu, sambil menyesap minuman yang tak pernah habis.

“Tak usah kau tanya–tanya lagi, coba kau hayati peranmu. Lupakan sekilas esok hari, semua telah terjadi. Aku dan dirimu, tenggelam dalam asa, dan tak ingin lari, tanggalkan rasa ini. Cobalah entaskan, pastikan lepas atau terus, semoga perih terbang tinggi di awan.”

“Tak usah kau cari makna hadirnya diriku, aku disini untukmu. Mungkin memberi arti cinta untukmu, aku disini untukmu. Lepaskan sejenak berat beban di pundakmu, aku disini untukmu. Pastikan terjawab semua ragu di cintamu, aku disini untukmu.”

“Kau coba meraba–raba hati, warnai gejolak disini. Alirkan semua rahasia, leburkan dalam suasana…”

You Might Also Like

0 comments